Flavor sangan berperan dalam
mempengaruhi pemilihan dan kesukaan konsumen akan makanan. Flavor yang mempunyai rasa seperti daging misalnya,
sangat digemari di Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak
jenis makanan yang beredar di pasaran ditambahkan beef-like seasoning
sebagai bahan pembentuk flavor rasa daging pada waktu pembuatannya (Anonymous,
1998).
Flavor bahan pangan
sesungguhnya terdiri dari tiga komponen yaitu bau, rasa dan rangsangan mulut.
Bau dapat dikenali bila berbentuk uap, rasa dapat diketahui bila dicecap oleh
lidah, sedangkan rangsangan mulut terjadi sewaktu makanan tersentuh dan terasa
di rongga mulut. Beberapa senyawa diketahui dapat menimbulkan dan meningkatkan
rasa enak atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan,
yang sering disebut sebagai flavor potentiator, flavor intensifier
atau flavor enhancer. Bahan yang umum digunakan sebagai flavor
enhancer yaitu MSG, inosin 5’-monophospat (IMP) dan guanidine 5’-mono
phospat (GMP) (Winarno, 1997).
Kebanyakan makanan dikonsumsi
dalam bentuk makanan olahan dengan proses pemanasan. Flavor alami dapat
terbentuk baik secara enzimatis maupun dengan proses pemanasan yang dihasilkan
melalui interaksi prekursor-prekursor di dalam bahan pangan, khususnya reaksi
antara karbohidrat dengan asam amino dan degradasi termal lipid (Tressl, 1991).
Bailey (1994) melaporkan bahwa
meat flavour dalam bahan pangan dihasilkan karena adanya reaksi
Maillard. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya meat flavor dari hasil
pemasakan daging dan juga dari sistem model pembentukan meat flavor
sintetik. Komponen dominan yang dihasilkan yaitu heterosiklik N,S,O dan senyawa
yang mengandung sulfur. Komponen-komponen tersebut mencakup furan, pirazin,
pirol, tifen, tiazol, imidazol, piridin, oksazol dan siklik etilen sulfide.
Flavor umami merupakan produk browning,
dimana gula reduksi akan bereaksi dengan senyawa-senyawa amino untuk membentuk
glikosilamin (Mottram, 1998). Sedangkan menurut Tranggono, dkk (1990) rasa
sedap juga dapat dihasilkan karena proses pengolahan atau dapat dibentuk secara
fermentasi. Sebagai contoh reaksi browning non enzimatis dapat
menghasilkan bau yang kuat yaitu terbentuknya furtural, maltol pada reaksi
Maillard. Penambahan gula reduksi sangat
membantu pengoptimalan pengembangan umami hidrolisat tempe. Dalam daging, gula
reduksi yang sebenarnya sangat baik untuk pengembangan flavor adalah ribosa yang
tergolong senyawa pentosan (Tsai, et
al dalam Soeparno, 1994).
Cita rasa umami dapat ditemukan
pada hidrolisat protein dari daging sapi, ayam, babi, kambing dan protein
nabati (umumnya kedelai) (Maga, 1998). Berbeda dengan penggunaan MSG yang hanya
mengandung satu jenis asam amino yaitu asam glutamat, pada hidrolisis protein
secara enzimatis asam amino yang dihasilkan lebih kompleks (Nielsen, 1997).
Flavor potentiator adalah bahan-bahan yang dapat meningkatkan rasa enak atau dapat menekan rasa yang kurang enak dari suatu
bahan makanan. Bahan iut sendiri tidak atau sedikit mempunyai cita rasa.
Sebagai contoh penambahan senyawa L-asam glutamat pada daging atau masakan akan
menimbulkan cita rasa asam amino tersebut. Penggunaan dari asam glutamat hanya
efektif pada daging, sup, masakan-masakan dari ikan, ayam, dll. Tetapi tidak
efektif untuk penyedap buah, sari buah atau makanan berbumbu yang manis
(Tranggono dkk,1990).
Asam glutamat sangat penting
peranannya dalam pengolahan masakan, karena dapat menimbulkan rasa yang lezat
(Winarno, 1997). Menurut Hirasawa, et.al (2001), produksi industri asam
amino seperti asam glutamat, lisin, ornitin, threonin digunakan sebagai penguat
rasa (flavor enhancer) pada makanan.
Secara alami asam glutamat terdapat
dalam bahan makanan berprotein tinggi, seperti dalam tepung gandum, kedelai,
jagung dll. Asam glutamat efektif sebagai penyedap pada pH antara 3,5-7,2 yaitu
pH makanan pada umumnya (Tranggono dkk,1990).
Asam glutamat merupakan asam amino non
esensial yang dihasilkan dari makanan yang kita konsumsi dan masuk siklus Krebs
dalam jalur metabolisme. Asam amino ini dihasilkan dalam bentuk bebas maupun
berikatan (Winarno, 1997). Asam glutamat tidak mengalami dekomposisi selama
proses dan pemanasan. Pada kondisi panas yang tinggi dan adanya gula reduksi,
maka asam glutamat akan bereaksi dengan gula reduksi berupa reaksi Maillard
(Sugita, 1990).
Menurut Pramadi (2008), glutamat
adalah salah satu jenis asam amino, glutamat terikat dengan asam amino lainnya
untuk membentuk suatu struktur protein. Glutamat yang terikat pada struktur protein tidak mempunyai rasa dan tidak
memperkaya umami pada pangan. Hidrolisa protein selama proses
fermentasi, aging, pematangan, proses pemasakan dengan panas akan melepaskan free
glutamate. Free glutamate ini sebagai komponen kunci untuk
mendapatkan pangan yang umami.
No comments:
Post a Comment